Perihal Melamar dan Dilamar
OPINI | 24 June 2010ALKISAH hiduplah sepasang suami-istri di suatu negeri. Beberapa tahun setelah “pernikahan” kehidupan keluarga itu relatif tak ada masalah, meskipun banyak orang di sekitarnya sering mencibir dan mencurigai bahwa si istri dari pasangan itu punya perangai yang cenderung selingkuh. Kesetiaannya, integritas, moral dan etikanya pun masih tanda tanya. Namun cibiran tinggal cibiran, curiga tinggal curiga, sepasang suami-istri itu tetap cuek bebek. Hingga suatu ketika godaan itu datang dan mengusik harmoni keluarga itu.
Si istri tiba-tiba dilamar oleh orang lain yang kebetulan “sedang” kaya dan punya kekuasaan. Tanpa pikir panjang lagi si istri pun merima lamaran itu. Akibatnya, tak hanya suaminya yang dibuat mencak-mencak, tetapi juga tetangga yang sejak dulu sudah mencurigai ketidaksetiaan si istri. Mereka menganggap ini adalah pengkhianatan tingkat tinggi.
Bagi suami dan kebanyakan orang disekitarnya, jelas tindakan si istri ini sangat melukai dan mengecewakan. Tidak hanya suaminya yang terluka dan kecewa, namun juga banyak orang yang terluka dan kecewa sebab dulu pernah menjadi saksi dan mungkin juga menetapkan pernikahannya secara administrasi. Bukan masalah undang-undang atau peraturan yang dilanggar atau tidak dilangar. Lebih dari itu, ini terkait dengan masalah moral dan etika. Kalau memang dia istri yang “sholeha” tentu dengan tegas akan menolak lamaran itu. Namun, faktanya dia pun sepertinya menerima lamaran itu dan sekarang sedang memproses (dengan sepihak) perceraiannya. Jelas tindakannya ini menunjukkan ketidaksetiaannya pada suami sekaligus menunjukkan kegatelan dan keganjenan-nya.
Demikian juga dengan sang pelamar. Sudah tahu istri orang lain, masih juga mau ngembat. Kalau ngebet dan kebelet, mbokyao jangan keterlaluan seperti itu. Apakah tidak ada wanita lain yang lebih “seksi” yang menarik mata dan hati hingga istri orang lain tidak menjadi sasaran? Kalau pun memang sudah tak ada wanita lain, apa tidak bisa bersabar sedikit menunggu perceraian dan masa idah-nya si wanita itu, hingga tak sampai merusak pagar ayu seperti ini?
Entahlah bagaimana akhir kisah itu, yang jelas kata guru-guru ngaji di kampung saya, melamar dan dilamar itu ada aturannya, ada etika moralnya, kecuali bagi orang yang sangat kebelet dan kegatelan sekaligus tak tahu diri saja!